Rabu, 03 Februari 2016

Added Value CPO



Jakarta - Pemerintah  menginginkan produksi minyak sawit mentah bisa meningkat, khususnya untuk perkebunan yang dikelola petani mandiri. Menurut Menteri Perindustrian, Saleh Husin, antara petani mandiri dan perusahaan plasma perlu duduk bersama agar produksi minyak sawit bisa tumbuh. "Selama ini hasilnya masih rendah (perkebunan mandiri), yaitu 2,5 ton," ucap Saleh usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 2 Februari 2016.

Dengan adanya badan layanan umum kelapa sawit, mestinya produksi minyak kelapa sawit bisa ditingkatkan. Menurut Saleh, perlu ada pembinaan yang intensif kepada pemilik kelapa sawit mandiri agar hasil produksinya bisa mengimbangi perusahaan plasma.

Di tengah lesunya harga komoditas dunia, termasuk harga minyak sawit, Saleh menilai perlu ada produk lanjutan yang bisa dikembangkan. Apalagi penerimaan dari sektor minyak sawit terbilang tinggi, yaitu sekitar US$ 21,7 miliar pada 2014. Oleh sebab itu, kebijakan yang sudah berjalan seperti penerapan campuran minyak nabati menjadi 20 persen (B20) dengan solar perlu ditingkatkan.

Jika penggunaan biodiesel B20 sudah meningkat maka dengan sendirinya harga minyak sawit menjadi terjaga. "Dampaknya ke masyarakat luas, baik petani mandiri dan plasma akan lebih baik penghasilannya," ucap Saleh. Kalau pun terjadi penurunan ekspor, produksi minyak sawit akan didorong untuk konsumsi domestik dengan terus meningkatkan produk turunannya agar ada nilai tambah.

Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono yang ikut dalam rapat terbatas menyatakan ekspor crude palm oil (minyak sawit) masih menjadi primadona untuk sektor non Migas. Presiden Joko Widodo,  ingin minyak sawit bisa lebih dikembangkan ke depannya.

Joko berharap dari sektor biodiesel B20 bisa optimal menyerap hasil produksi minyak sawit domestik. "Jika biodiesel B20 sanggup menyerap 3 juta ton CPO dampak positifnya akan dirasakan oleh pelaku industri dalam negeri."

TEMPO

Senin, 25 Januari 2016

Kondisi Industri Sawit 2016


Lori rebusan di Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS)
 
Di tengah anjloknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar global, pemerintah diminta untuk menurunkan besaran pungutan ekspor CPO. Pungutan itu selama ini dilakukan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, permintaan tersebut salah satunya datang dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Namun Saleh tidak mengungkapkan besaran ‎penurunan pungutan yang diminta oleh para pelaku industri tersebut.
‎"Ada yang minta, dalam keadaan lagi turun (harga CPO), ditinjau yang dipungut itu, mungkin bisa dikurangi. Mungkin untuk sektor hulunya," ujar dia di kantor Kementeian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (25/1/2016).
Selain penurunan besaran pungutan CPO, pelaku industri kelapa sawit juga meminta pemerintah menghilangkan pungutan ekspor cangkang sawit (palm kernel shells). Seebelumnya, cangkang sawit tersebut dianggap sebagai limbah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, cangkang sawit ini rupanya masih bisa diolah menjadi bahan bakar pengganti barubara, bahkan dinilai jauh lebih ramah lingkungan.
"Misalnya buangan limbah (cangkang sawit) itu tidak perlu dikenakan biaya atau dipungut. Jadi limbah itu kan bisa diolah, diekspor. Itu tidak dipungut," katanya.
‎Sementara itu, terkait dengan program mandatori pencampuran CPO sebesar 20 persen dalam biodiesel (B20), Saleh memastikan program tersebut akan dijalankan pada tahun ini meski program B15 sebelumnya tidak berjalan maksimal.
Dalam hal ini, industri otomotif yang tergabung dalam Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) telah mendukung berjalannya program mandatori ini dengan menyesuaikan sistem mesin kendaraan khususnya kendaraan berat seperti truk.
"B20 tetap jalan. Kita bicara dengan Gaikindo itu bisa dan layak digunakan. Tapi pengguna-pengguna mungkin takut menganggu kendaraan besar, tapi produsen tidak masalah," tandasnya

Liputan6.com


Pengiriman CPO
  Harga CPO menguat pada awal perdagangan Jumat (22/1/2016) seiring rebound harga minyak mentah di pasar dunia.
Kontrak berjangka CPO untuk April 2016, kontrak teraktif di Bursa Malaysia, dibuka menguat 0,83% ke harga 2.444 ringgit atau Rp7,8 juta per ton.
Komoditas tersebut kemudian sempat diperdagangkan menguat hingga 1,11% ke harga 2.449 ringgit per ton dan diperdagangkan menguat 0,91% ke harga 2.444 ringgit per ton pada pukul 10.05 WIB.
Harga CPO rebound mengikuti pergerakan harga minyak mentah. Minyak Brent kemarin ditutup menguat 4,91% ke harga US$29,25 per barel setelah sempat naik hingga 7% di perdagangan intraday. Bren diperdagangkan naik 0,65% ke harga US$29,44 per barel pada pukul 10.11 WIB.
Sementara itu, penurunan tajam harga minyak mentah membebani rencana pemerintah Indonesia menerapkan standar BBM biodiesel B-20 pada 2016.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Rp15,87 triliun untuk program B-20 hanya cukup untuk memberikan subsidi selama 8–10 bulan.

Bisnis.com 

 
Storage Tank CPO di PPKS

Sejak akhir Desember 2014 lalu, harga minyak mentah dunia selalu mengalami penurunan. Bahkan, sejak Iran dibebaskan dari sanksi internasional, harga minyak mentah dunia anjlok pada level USD 28 per barel. Harga minyak mentah ini merupakan yang terendah sejak tahun 2003.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menuturkan, prediksi pertumbuhan harga crude palm oil (CPO) pada tahun 2016 akan sulit dicapai jika harga minyak mentah terus bertahan pada level USD30 per barel.
"Akhir November para pakar meramalkan harga CPO global tahun 2016 akan mencapai diatas USD600 per metrik ton pada kuartal pertama 2016. Spekulasi yang berkembang disebabkan karena jatuhnya harga minyak mentah dunia yang sudah menyentuh level USD30 per barel," ujar Joko dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/1/2016).
Untuk diketahui, sepanjang tahun 2015 harga CPO turun sebesar 25 persen year on year. Pada 2014, harga CPO mencapai 818,2 ton per metrik ton. Namun, harta rata-rata CPO pada 2015 hanya mencapai USD 614,2 per metrik ton.
Akibatnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan sepanjang tahun 2015 tidak dapat memungut pajak CPO. Sebab, harga CPO berada di bawah batas minimum penerapan pajak CPO sebesar USD750 per metrik ton.
"Biasanya bea keluar disumbang dari ekspor CPO. Tapi sejak harga CPO internasional di bawah threshold, yaitu kurang dari USD750 per metrik ton. Jadi Bea Cukai tidak dapat memungut bea keluar. Akibat dari kondisi ini, potensi kehilangan penerimaan sebesar Rp8,1 triliun," ujar Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi beberapa waktu lalu.

Okezone.com